AKHIR MASA REVOLUSI DAN BERDIRINYA AL IHSAN
Kiai Sirran wafat pada tahun 1942, di saat kedua putera beliau yang bernama Kiai Ahmad Fauzi dan Kiai Muhammad Yasin, sedang menuntut ilmu di pondoknya masing-masing. Akibatnya, terjadi kevakuman kepemimpinan di pesantren dan madrasah yang belum punya nama tersebut. Kevakuman tersebut berlangsung selama 7 tahun, yakni mulai 1942 hingga 1949, sehingga menyebabkan sebagian santri pulang (boyong) ke rumah masing-masing.
Untuk mengatasi kevakuman tersebut, Kiai Khairuddin (Kiai Jahriyah) berupaya menghidupkan kembali kegiatan belajar-mengajar (KBM) pada tahun 1947. KBM tersebut ditempatkan di Kampung Arongan, sekitar 500 meter ke utara Pangambengan.
Kemudian pada tahun 1950, KBM warisan Kiai Sirran juga dikembangkan oleh Kiai Abdul Majid yang berlokasi di Kampung Moccol, sekitar 1 kilometer ke arah timur-daya Pangambengan. Tetapi, kegiatan KBM di Kampung Moccol hanya bertahan selama 5 (lima) tahun. Karena pada tahun 1955, Kiai Abdul Majid wafat.
Di kampung Pangambengan sendiri, kegiatan KBM dinteruskan oleh Kiai Abu Sujak (suami Nyai Hasanah, putri sulung Kiai Sirran) dan Kiai Fathullah. Barulah pada tahun 1958, sepulang Kiai Ahmad Fauzi dan Kiai Muhammad Yasin dari pondok masing-masing, kegiatan belajar-mengajar warisan Kiai Sirran dihidupkan kembali. Kegiatan tersebut dimulai pada tanggal 11 Syawal dan berpusat di masjid Pangambengan. Jika pada masa Kiai Sirran para pengajarnya didominasi kaum laki-laki, maka pada masa ini juga mengikutsertakan kaum wanita sebagai pengajar. Untuk santri putera ditempatkan di serambi masjid, dengan tenaga pengajar Kiai Ali Ridla, Kiai Muhammad Yasin, dan Kiai Nur Khatim. Sedangkan santri puteri ditempatkan di teras rumah pengasuh, dengan tenaga pengajar Nyai Maftuhah dan Nyai Nasihah.
Pada akhir tahun 1958, seorang warga Kampung Tobetoh (sekitar 300 meter ke arah utara Pangambengan) memberikan sebidang tanah di ujung utara Pangambengan, kepada Kiai Ahmad Fauzi dan Kiai Muhammad Yasin. Maka dibangunlah madrasah pertama di atas tanah tersebut, dengan bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: gedek. Madura: bithik). Di sanalah kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan.
Guna memenuhi kebutuhan akan bangunan yang layak huni di tengah kondisi yang serba terbatas, maka para santri, siswa, dan para guru bergotong royong untuk membangun sebuah bangunan permanen. Mereka juga membangun mushalla dan bilik santri yang terbuat dari bambu, di sebelah timur madrasah.
Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1960, bangunan tersebut baru selesai dan sudah bisa ditempati. Dengan adanya bangunan permanen (madrasah, mushalla, dan bilik santri), maka di Kampung Pangambengan secara resmi dibuka sebuah lembaga pendidikan Islam yang diberi nama ”AL-IHSAN”.
Sejak akhir tahun 1960, Kiai Khoiruddin yang mengasuh lembaga pendidikan di Kampung Arongan, meminta diadakan persamaan kurikulum dengan Madrasah Al-Ihsan. Dua tahun kemudian (1962), Al-Ihsan mendirikan sejumlah madrasah cabang ke arah barat dan utara, yang kesemuanya itu meminta persamaan kurikulum ke Madrasah Al-Ihsan Pusat (Induk).
Cabang-cabang Al-Ihsan terus berkembang, dan hingga kini telah berjumlah 9 (Sembilan) cabang. Yaitu:
- Al-Ihsan I (B) di Kampung Arongan Desa Jaddung Kecamatan Pragaan.
- Al-Ihsan I (C) di Kampung Pasar Kenyem Desa Jaddung Kecamatan Pragaan.
- Al-Ihsan II (A) di Kampung Tenggina Desa Larangan Perreng Kecamatan Pragaan.
- Al-Ihsan II (B) di Kampung Tambak Batu Desa Larangan Perreng Kecamatan Pragaan.
- Al-lhsan III (A) di Kampung Bakburu Desa Pakamban Daya Kecamatan Pragaan.
- Al-thsen III (B) di Kampung Telaga Desa Pakamban Daya Kecamatan Pragaan.
- Al-lhsan IV di Desa Rombasan Kecamatan Pragaan.
• Al-lhsan V (A) di Kampung Nong Bunter Desa Sentol Daya Kecamatan Pragaan.
• Al-lhsan V (B) di Kampung Sabidak Desa Sentol Daya Kecamatan Pragaan.
Sedangkan cabang Al-Ihsan yang berada di luar kecamatan dan luar kabupaten, diberi nama Nurul Ihsan (Th. 1975).
Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan secara resmi telah terdaftar di Kanwil Departemen Agama Jatim sejak tahun 1960 dan telah memperoleh piagam pengakuan sarta sudah berkali-kali diberi kesempatan untuk melaksanakan ujian negara sendiri. Sedangkan yang menjabat sebagai kepala Madrasah Ibtidaiyah Al-Ihsan, sejak awal berdirinya sampai tahun 1970 ialah Kiai Ach. Fauzi Sirran. Tetapi karena berbagai kesibukan, pada tahun 1972 kepala Madrasah dialihkan kepada Kiai Mohammad Yasin Sirran.
Berkat do’a dan mujahadah para pendiri, Pondok Pesantren Al-Ihsan yang semula hanya bemodalkan sebuah madrasah dan surau kecil, kini telah berkembang menjadi lembaga pendidikan yang cukup representatif.
Pada tahun 1965, didirikan pula Madrasah Tsanawiyah (MTs). Kepala Madrasah Tsanawiyah tersebut sejak awal berdirinya adalah Kiai Moh. Yasin Sirran. Selanjutnya, memasuki tahun 1983, keududkan beliau digantikan oleh Kiai Aminuddin Jazuli. Namun peralihan jabatan tersebut hanya belangsung dua Tahun. Lalu sejak tahun 1985 sampai tahun 1992, kepala Madrasah Tsanawiyah diserahkan kepada Kiai Syamsuddin Khatib. Lalu tahun 1993, kepala Madrasah Tsanawiyah kembali dipegang oleh Kiai Moh. Yasin Sirran. Sedangkan keikutsertaannya dalam mengikuti ujian akhir negeri dimulai sejak periode 1978/1979 dan berhasil meluluskan siswa-siswinya seratus persen.
Setelah Madrasah Tsanawiyah berhasil berdiri dan berjalan dengan baik, pada tahun 1983, Al-Ihsan mendirikan Madrasah Aliyah (MA) dengan dikepalai oleh K.H. Ahmad Fauzi Sirran. Lalu pada tahun 1985 sampai 2016, kepala Madrasah Aliyah dipegang oleh K.H. Moh. Zuhri Abdul Mughni, menantu Kiai Ahmad Fauzi Sirran yang merupakan lulusan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.
Mengingat mutu pendidikan keagamaan pada dekade tahun 1990-an lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, maka sejak tahun ajaran 1994-1995, Al-Ihsan mendirikan Ma’had ’Aly. Yakni semacam kelas khusus (Takhassus) untuk mendalami kitab-kitab karya ulama salaf (Turats). Semua siswa-siswi lulusan Madrasah Aliyah Al-Ihsan diwajibkan melanjutkan ke Ma’had Aly, agar mereeka siap terjun ke masyarakat. Hingga tahun 2000an, Ma’had Aly sudah banyak melahirkan kader-kader yang siap pakai di tangah-tengah kehidupan masyarakat.